Pages

Wednesday, September 30, 2015

Harga BBM tidak Ekonomis akibat dari Rupiah yang Fluktuatif

Penetapan harga BBM menjadi isu yang sensitif. Sudah cukup lama perubahan harga BBM selalu menimbulkan dilema dan polemik. Ini membuat pemerintah gamang untuk melangkah, dan tidak konsisten dengan kebijakan yang dilakukan.

Saat subsidi BBM dihapus harusnya harganya mengikuti pasar. Namun saat harga minyak dunia turun, pemerintah tak kunjung merubah harganya. Ini membuat masyarakat dan dunia usaha merasa terbebani.

Apalagi dengan kondisi ekonomi yang melambat, dunia usaha dan masyarakat membutuhkan ruang untuk bernafas. Bukannya malah mendapatkan tekanan lebih berat dari harga BBM yang lebih mahal dari harga pasar. Pemerintah nampaknya takut merubah harga yang ada dengan alasan harga minyak yang naik turun.

Apalagi dengan rupiah yang fluktuatif, maka semakin sulit dicari formula yang tepat untuk menentukan harga BBM. Seperti kasus sebelumnya saat harga BBM dibiarkan mengikuti harga pasar, maka terjadi gejolak di sektor riil. Sudah bukan rahasia saat harga BBM naik maka harga barang lainnya bergejolak.

Namun anehnya saat harga BBM turun, harga lainnya tak kunjung turun atau lama turunnya. Ini membuat pemerintah serba salah dan kawatir dengan angka inflasi yang sedang dimonitor secara ketat. Seperti diketahui inflasi sudah cukup tinggi gara-gara penghapusan subsidi kemarin.

Nampaknya memang pola harga BBM naik turun ini tidak sesuai dengan kondisi perekonomian kita. Ekonomi kita masih rentan oleh gejolak, dengan banyak indikator yang masih fluktuatif. Salah satunya ya mata uang rupiah yang menjadi acuan penetapan harga BBM.

Ada semacam ambigu saat pemerintah bilang rupiah undervalue, tapi tak mau menetapkan harga BBM berdasarkan nilai asumsi rupiah dalam APBN. Standar ganda inilah yang membuat penetapan harga BBM menjadi tidak ekonomis dan menimbulkan keraguan di pasar maupun dunia usaha. 

Justru dengan penghapusan subsidi dan menyerahkan harga BBM ke pasar malah membuat indikator baru yang fluktuatif. Ini tentunya menjadi hambatan dalam mengontrol inflasi. Dilemma inilah yang membuat pemerintah tak kunjung merubah harga BBM.

Padahal ini sama saja dengan rakyat dan dunia usaha yang mensubsidi pemerintah dengan harga BBM yang mahal. Sesuatu yang tidak akan terjadi seandainya pemerintah tidak menghapus subsidi BBM secara total. Ada langkah moderasi dalam subsidi BBM, dengan menetapkan harga BBM di bawah harga pasar. Ini dengan acuan harga akan stabil saat harga minyak dunia turun, soalnya trennya memang harga minyak dunia lagi turun untuk jangka waktu yang lama.

Apa Jadinya Indonesia tanpa Dana Asing?

Boleh saja berkata “Go to Hell terhadap Dana asing”, namun dalam beberapa bulan ini sudah bisa dirasakan pengaruhnya. Tanpa dana asing, keadaan perekonomian menjadi melambat. Disini bisa diketahui sebenarnya keadaan perekonomian saat investor asing keluar dari pasar.

Selama ini peran investor asing menjadi motor penggerak bursa dan pasar keuangan. Di sektor riil sendiri, diperkirakan dana asing menjadi mayoritas dari investasi di Indonesia. Tidak heran kiblat perekonomian kita sangat rentan oleh pengaruh eksternal.

Apalagi dengan suku bunga acuan yang tinggi, maka banyak korporasi besar bahkan pemerintah sendiri memiliki hutang luar negeri yang tinggi. Kondisi inilah yang membuat perekonomian tak lepas dari gejolak saat kondisi global bergejolak. Tidak dipungkiri ada wacana untuk lepas dari dana asing ini, namun apa jadinya kondisi ekonomi tanpa dana asing?

Diperkirakan pertumbuhan ekonomi tak sampai di atas 5 persen bila ingin perekonomian mandiri tanpa dana asing. Ini dialami Negara-negara dengan minimnya investasi asing, maka pergerakan ekonominya sangat lambat. Meskipun ini kembali pada system perekonomian yang dianut oleh Negara tersebut, pada akhirnya suatu Negara tak akan lepas dari pengaruh ekonomi global.

Disini peran Negara atau pemerintah sangat besar dalam mengelola perekonomian dalam hal ini mengelola dana asing yang masuk. Ada dana asing yang sifatnya sementara seperti di pasar keuangan dan dana asing yang masuk di sektor riil. Di Negara berkembang seperti Indonesia rasio dana asing lebih besar di pasar keuangan daripada di sektor riilnya.

Ini memang menandakan belum mapannya system ekonomi maupun aturan di dalamnya, sehingga resiko investasinya masih sangat tinggi. Dana asing hanya ingin bermain dalam jangka pendek saja atau sekelas spekulan. Biasanya mereka dengan mudah keluar dan masuk sesuka hatinya, banyak yang mengenalnya dengan “hot money”.

Di saat system ekonomi masih belum stabil, masih sering keluar aturan dan berubah-rubah aturannya, maka dana asing ini akan lebih berputar-putar di pasar keuangan. Mereka dengan mudahnya kabur dan membuat perekonomian bergejolak. Kondisi inilah yang dialami perekonomian Indonesia saat ini.

Situasinya masih bergejolak, soalnya arah perekonomian masih belum jelas. Investor asing masih belum nyaman untuk tinggal lebih lama. Setiap ganti pemerintahan ganti kebijakan atau aturan, ini membuat investor asing ini lebih berorientasi jangka pendek. Selama persepsi investor asing seperti ini, maka selama itu pula perekonomian akan rentan oleh gejolak dari luar.

Tuesday, September 29, 2015

Kereta Cepat: Jepang Keok lagi atas Cina di Indonesia

Setelah berhasil mendapatkan proyek kereta cepat di amerika, maka dengan mudahnya Cina mendapatkan proyek kereta cepat di Indonesia. Meski sempat diwarnai adu kuat dengan Jepang, akhirnya cina bisa memuluskan jalan menjadi penyedia kereta cepat pertama di Indonesia. Walau sebenarnya secara teknologi masih kalah dengan Jepang, kereta cepat cina lebih murah dan cina punya strategi marketing yang jitu dalam merebut pasar Indonesia.

Sudah sejak lama cina dikenal sangat ulung dalam berbisnis, mereka memilih jangka panjang dalam berdagang. Tidak heran bidding yang ditawarkan sangat murah, sehingga pihak Indonesia tak mampu menolak proposal dari Cina. Meski banyak kalangan yang melihat cina akan meraih untung di belakang hari dari sisi maintenance, itulah memang ciri bisnis mereka.

Sebenarnya kemenangan cina ini sudah diduga sebelumnya. Apalagi sudah sejak dari awal terlihat gelagat arah Jakarta dalam memilih pemenang kereta cepat. Diduga undangan pada pihak Jepang hanya strategi dari pihak Jakarta untuk menekan proposal yang diajukan oleh pihak cina. Langkah ini untuk menekan habis-habisan pihak cina agar mau mengikuti kemauan Jakarta.

Nampaknya pihak cina juga mau untuk mengikuti permainan dari Jakarta, karena bagaimanapun mereka masih memegang kartu. Pihak cina masih bisa meraih untung dari ongkos maintenance kereta cepat yang memang tidak murah. Apalagi dengan longgarnya aturan tenaga asing, maka pihak cina bisa mengirim nakernya ke Indonesia dengan leluasa.

Disini cina memang pintar dalam memainkan strategi dan dengan lihainya menguasai permainan yang diawali pihak Jakarta. Diperkirakan dengan mudahnya pula cina akan mengamankan proyek kereta cepat lanjutan di Indonesia. Apalagi dengan pengalaman membangun kereta cepat pertama di Indonesia.

Pihak jepang sendiri menyesalkan kekalahan atas cina dalam membangun kereta cepat pertama di Indonesia. Seperti diketahui alasan dana pembangunan kereta cepat yang tak boleh memakai anggaran Negara hanyalah permainan pihak Jakarta, karena sebelumnya mereka sudah menginjeksi BUMN mereka dengan dana cukup besar. Jepang memang merasa “dikadalin”, meski harus diakui bahwa selama ini kereta cepatnya masih terlalu mahal untuk ukuran Negara berkembang seperti Indonesia.

Paket Sepetember 2 tak Fundamental, Bursa terus Terkoreksi

Investor asing nampaknya tak mudah untuk diyakinkan. Meski sudah keluar paket kebijakan ekonomi jilid 2 atau paket September 2, IHSG masih terus mengalami koreksi. Ini dengan motor penggerak investor asing yang masih terus melakukan aksi jual.

Paket September 2 hanya direspon oleh investor domestik dalam hal ini para emiten dan pemerintah, yang terus melakukan aksi beli di bursa saham. Paket September 2 selain terlambat juga tidak memiliki pengaruh signifikan dalam perubahan ekonomi nasional. Stimulus yang diberikan hanya untuk menggerakan perekonomian, tapi tidak untuk merombak atau mereformasi ekonomi menjadi lebih produktif.

Apalagi dengan stimulus untuk ekspor yang tak lebih dari seujung kuku bila dibandingkan dengan anggaran belanja Negara. Sudah terlihat bahwa pemerintah tidak serius dalam mengurusi rupiah, atau meremehkan pelemahan rupiah. Padahal pelemahan rupiah sudah menyeret bursa dan pasar keuangan kepada keterpurukan.

Paket September 2 yang merupakan kelanjutan dari paket September 1 yang gagal sebelumnya, diperkirakan akan bernasib sama. Soalnya masih terlalu jauh dari persoalan yang dihadapi, padahal dampak ekonominya sudah sangat buruk seperti PHK dimana-mana. Paket September 2 yang katanya lebih fokus pada industri, keuangan dan ekspor ini memang sudah konkrit tapi kurang fundamental.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah ini adalah meniru cara cina intervensi di pasar keuangan dan ekspor. Padahal cara tersebut masih kurang mujarab dalam menggerakan kelesuan di ekonomi cina. Apapun kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, bila masih setengah hati tak akan berbuah banyak.

Stimulus yang diberikan masih terlalu kecil dan tidak fundamental. Pasar keuangan sudah memerah atau kebakaran terlalu lama, “image” yang berkembang menjadi “bola liar” yang akan sulit untuk dikendalikan. Ini yang melahirkan ketidakpercayaan investor pada apapun kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.

Masih sulit untuk melihat bursa saham kembali menghijau dengan kembalinya investor asing. Ini berarti titik terendah pada IHSG masih belum tersentuh, potensi yang ada IHSG akan terus terkoreksi dengan pelarian investor asing dari portofolio investasi rupiah. Pemerintah dalam hal ini, harus siap-siap menerima dampak dari meremehkan pelemahan rupiah.

Monday, September 28, 2015

Saat Semua sudah Terlambat

Pelemahan Rupiah sudah cukup dalam dan membawa perekonomian ke gerbang krisis. Meski pemerintah tak mau disebut krisis, tapi sebenarnya perekonomian sedang menuju kearah itu. Ini tidak bisa dipungkiri dengan pelemahan rupiah yang sudah berdampak cukup luas pada perekonomian.

Lihat saja pada IHSG dimana terjadi aksi jual oleh investor asing yang terus menerus. Intervensi pemerintah atau investor domestik tak mampu menghadang sebuah “kepercayaan” yang sudah luntur. “Arus” yang mengalir sudah cukup deras kearah yang pasti, sebuah kejatuhan yang mungkin sangat tidak diharapkan.

Boleh dibilang pemerintah terlalu meremehkan apa yang terjadi, ini terlihat dari cara menghandel pelemahan rupiah yang seadanya, bahkan cenderung irasional. Rupiah butuh perhatian penuh, karena bila dibiarkan akan membawa perekonomian ke gerbang krisis. Persoalan rupiah tidak bisa dipecahkan dengan membangun infrastruktur saja.

Bila dilihat di media, nampaknya para pejabat lebih suka meresmikan proyek, ikut panen, bagi-bagi kartu atau hal-hal seremonial yang feodalis yang sudah ditinggalkan oleh Negara maju. Persoalan rupiah tidak bisa diremehkan, butuh perhatian yang penuh dan langkah yang strategis.

Persoalan rupiah sudah bukan lagi domain BI, karena menyangkut perekonomian yang lebih luas. Kebijakan yang diambil sudah bukan lagi masalah fiskal, regulasi, tapi sudah menyangkut anggaran yang diperlukan untuk membawa rupiah kembali stabil atau lebih berat lagi menguat terhadap dollar. Disini memang butuh perubahan fundamental pada perekonomian, bukan sekedar paket kebijakan ekonomi yang tak akan mampu menghadang pelemahan rupiah.

Mungkin bisa dimaklumi dengan usia pemerintahan yang singkat akan menemui kesulitan memecahkan persoalan berat pada rupiah. Ini terlihat dari cara mengatasi pelemahan rupiah yang konservatif, masih mengekor pada pemerintahan sebelumnya. Lihat saja indikator ekonomi mengekor kondisi perekonomian pemerintahan sebelumnya, bahkan cenderung lebih ceroboh hingga membuat terjadinya akselerasi pada pelemahan rupiah.

Bila dilihat pada grafik pelemahan rupiah, nampak ada pola konstan sejak tahun 2012 dan terjadi akselerasi pada beberapa bulan lalu. Ini menandakan situasinya sudah semakin memburuk atau terjadi kepanikan hingga kebijakan yang diambil menjadi kontra produktif dan semakin melemahkan rupiah. Lihat saja di pola pergerakan IHSG dan pola fluktuasi rupiah, ini menandakan situasinya sudah sulit untuk dikontrol dan sudah di luar kendali.

Arusnya sudah sangat deras untuk diarahkan, tinggal menunggu dampaknya yang satu persatu akan bermunculan. Dampak sosial-politik sudah mulai terasa, ini terlihat dari adanya pergerakan “rasa tidak puas” di tingkat elite. Bila pemerintah tak juga menyadari akan pentingnya persoalan rupiah ini, maka masalahnya akan bisa semakin memburuk.

In Dollar We Trust

Sulit untuk memungkiri bahwa pelemahan rupiah akibat dari penguatan dollar amerika. Namun banyak investor melihat sisi lain dari pelemahan rupiah sebagai kepercayaan yang lebih tinggi pada dollar ketimbang rupiah. Dengan kata lain kepercayaan investor terhadap rupiah sudah luntur.

Fakta memang menunjukan dalam setahun ini investasi di pasar keuangan dalam portofolio rupiah sudah mengalami susut nilai sebesar lebih dari 17 persen. Ini artinya setinggi-tingginya investasi di surat utang atau obligasi, sudah tidak memberi keuntungan sama sekali, bahkan cenderung merugi. Dari pondasi keuangannya saja sudah jelek, lalu mau gimana lagi dengan bentuk investasi lainnya.

Jelas saja resiko investasi di ekonomi rupiah semakin tinggi dan sudah tidak menguntungkan. Wajar bila banyak investor di pasar keuangan yang lebih memilih dollar ketimbang portofolio rupiah. Bila masih ada yang bergerak di bursa saham, tak lebih hanya mencari celah untuk keluar dari bursa.

Bagaimanapun mereka tak mau eksit dalam keadaan rugi, andaipun rugi tak mau rugi banyak. Itulah pandangan investor yang mungkin dilihat lain oleh pejabat ekonomi. Boleh saja pejabat ekonomi bilang pondasi ekonomi masih kuat, pertumbuhan ekonomi nomor sekian tertinggi di dunia, tapi pada realitanya tidak memberi hasil bagi investasi.

Bagi investor tak perlu data yang muluk-muluk untuk menyakinkan mereka, selama investasinya menguntungkan maka mereka akan masuk ke pasar kita. Ini yang tidak dimiliki pasar keuangan maupun ekonomi kita, kondisi investasinya sangat beresiko dengan pelemahan rupiah yang semakin dalam. Rupiah bukan saja lemah pada dollar tetapi juga pada mata uang Negara lainnya.

Ini menandakan sudah secara fundamental ada yang keliru di perekonomian kita. Sebenarnya apapun jenis paket yang dikeluarkan tak akan berpengaruh banyak, karena kondisinya sudah fundamental. Disini perlu perombakan secara menyeluruh terhadap system ekonomi yang sedang dijalankan.

Sudah bukan saatnya pertumbuhan ekonomi dari konsumsi domestik bisa diandalkan. Pejabat ekonomi harus menyadari hal ini dan mulai melakukan langkah progresif dalam merombak system ekonomi konsumtif kea rah ekonomi produktif. Memang akan sangat berat dan melelahkan, tapi hanya ini resep mujarap untuk menghadang laju pelemahan rupiah.

Bila pemerintah masih ngotot dengan system ekonomi konsumtif yang dianutnya, maka jangan menyesal bila kondisi perekonomian akan semakin memburuk. Sampai sejauh mana rupiah akan terus melemah dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat akan semakin berat. Ingat ekonomi yang memburuk bisa menimbulkan gejolak sosial-politik di masyarakat dan ongkosnya bisa sangat mahal.

Sunday, September 27, 2015

Apakah Investasi emas layak Dilakukan saat ini?

Dibalik pelemahan rupiah yang amat dalam, banyak orang yang berpaling ke investasi emas. Ini beranggapan investasi emas adalah safe haven dan harganya akan stabil dan naik terus. Benarkah harga emas akan naik terus?

Tentu saja tak ada yang bisa menduga kearah mana harga emas ini akan bergerak. Naik terus atau turun terus, siapa yang tahu? Soalnya harga emas ini dipengaruhi permintaan atau penawaran dan produksi emas itu sendiri. Juga emas bersaing dengan dollar, di saat dollar menguat, harga emas cenderung turun.

Meskipun emas adalah salah satu bagian dari safe haven dan penangkal inflasi, tapi posisinya sudah terlalu complicated. Banyak faktor yang mempengaruhinya, sehingga harga emas ini sulit diprediksi. Walau pada akhirnya kembali ke pasar.

Dulu ada investor emas ternama pernah bertaruh, bahwa harga emas akan menyentuh 2000 dollar per troy ounce atau sekitar satu jutaan rupiah per gram. Namun dalam perjalanannya harga emas tak sampai menyentuh angka yang dipertaruhkan. Justru harga emas malah terus terkoreksi dengan ritme yang konstan.

Banyak kalangan memprediksi koreksi harga emas yang terus menerus terkoreksi ini akibat dari ramalan tersebut, sehingga produksi emas digenjot lebih cepat dari permintaan. Ini terjadi sama dengan komoditas lainnya, seperti minyak, batu bara yang sudah mencapai peak dan mengalami kejatuhan akibat oversupplai. Kondisi ini nampaknya terjadi pada komoditas emas juga, ingat emas juga masih menjadi bagian dari komoditas pula.

Lihat di grafik perjalanan emas selama 30 tahun terakhir, akan tampak pola pencapaian peak atau angka tertinggi, sebelum emas terkoreksi terus menerus. Puncak harga emas memang pada tahun 2011, sebelum akhirnya oversuplay dan harganya terus terkoreksi. Tidak ada yang bisa memprediksi sampai batas mana, harga emas ini akan menemui titik terbawahnya.

Bila melihat pada grafik yang ada, harga emas diperkirakan akan terus mencapai titik terendahnya, yaitu di kisaran 500 dollar per troy ounce atau 250 ribuan pergram. Ini adalah harga yang pernah stabil cukup lama. Itung-hitungan ini memang hanya perkiraan saja, tidak menutup kemungkinan harga emas bisa berbalik naik lagi.

Untuk jangka panjang di atas 5 tahun, harga emas akan sulit diperkirakan. Namun untuk jangka pendek, diperkirakan harga emas akan berfluktuatif dan stabil terhadap dollar. Namun dengan pelemahan rupiah, harga emas akan bertambah mahal dalam hitungan rupiah.

Rupiah terus Melemah karena tidak Kompetitif, lalu apa Penyebabnya?

Gejolak rupiah masih belum berakhir, rupiah terus melemah meski pemerintah sudah berjibaku menahannya. Pemerintah biasanya akan menyalahkan kondisi global atau faktor eksternal yang mengalami perlambatan. Atau dengan membandingkan Negara lain yang lebih buruk mata uangnya dari rupiah.

Namun kondisi pelemahan yang terus menerus ini disikapi oleh pasar dan investor dengan kawatir. Persoalannya investasi mereka sudah susut cukup banyak, dengan rupiah melemah praktis nilai investasi juga ikut merosot. Hal ini memang kontradiksi dengan sikap pemerintah yang santai, dengan alasan pondasi ekonomi masih kuat.

Tentunya ini membuat kesabaran investor makin terkikis, wajar bila terjadi terus-menerus aksi jual di pasar saham. Diperkirakan performa IHSG menjadi yang terburuk tahun ini, dengan susut lebih dari 18 persen. Jauh sekali dengan kondisi tahun sebelumnya.

Nasib investasi di pasar keuangan ini memang mengikuti performa rupiah yang jeblok. Lalu apa yang sebenarnya membuat rupiah terus melemah dan tidak kompetitif?

Banyak pandangan yang menilai tingginya inflasi akibat penghapusan subsidi BBM menjadi awal mula kejatuhan rupiah. Meskipun sebenarnya rupiah sudah melemah secara konstan sejak 2012, lihat di grafik pelemahan rupiah, akan terlihat pelemahan rupiah yang konstan semenjak kinerja ekspor merosot pada tahun 2012. Sedang inflasi tinggi hanya sebagai katalis bagi kejatuhan rupiah lebih dalam.

Bisa jadi pondasi ekonomi sudah melemah sejak tahun 2012 dan pemerintah sampai saat ini tak mampu memperbaikinya. Andai ekspor digenjot secara optimal mungkin masih akan sulit diharapkan keberhasilannya, ini mengingat kondisi ekonomi global sedang melambat. Namun bukankah pemerintah masih bisa menahan laju impor sehingga tercapai neraca perdagangan yang positif?

Harusnya langkah ini bisa dilakukan, namun kondisi tata kelola pedagangan juga masih semrawut. Banyak kasus ijin impor yang tumpang tindih dan terlihat tidak melindungi industri nasional. Pemerintah lebih cepat melakukan impor demi melindungi angka inflasi yang sudah tinggi, bahkan sampai kasus dwelling time mengemuka, yang menjadi sorotan ijin impornya yang lambat, bukan persoalan perlindungan industri nasional yang jadi tumpuannya.

Dengan melihat realita ini maka wajar pasar maupun investor menjadi pesimis akan kondisi perekonomian. Bila mereka mengalihkan investasinya di luar portofolio rupiah, ini sudah pantas terjadi. Rupiah sudah beresiko tinggi buat berinvestasi, tidak menguntungkan dan tidak kompetitif lagi, ini penilaian investor dan pemerintah harusnya bisa melihat dari sudut pandang investor.

Saturday, September 26, 2015

Apa yang tidak bisa Dijual?

Perkembangan teknologi membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi bisa. Seperti kegiatan jual beli yang menjadi dasar dari bisnis modern. Siapapun, apapun bisa melakukan bisnis jual beli ini dan dimanapun berada.

Terima kasih pada revolusi digital yang membuat segalanya menjadi mungkin dan biasa. Tentunya tidak perlu lagi punya toko, ruko, stand pasar, lapak, etalase, hanya untuk berjualan. Ini membuat modal untuk berbisnis menjadi minimal, bahkan tanpa modal.

Kondisi ini sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh semua orang, selama dia tidak gaptek. Tentu ini akan menihilkan angka pengganguran, tak ada lagi orang yang tidak memiliki pekerjaan atau penghasilan. Jual saja apa yang ada di rumah sudah menjadi sebuah mata pencaharian.

Hanya saja orang sering terhalang oleh sesuatu yang tidak diketahui dan berhenti untuk melangkah atau berbuat. Disini memang yang membedakan orang bernilai dengan yang lainnya. Mereka yang bisa menghasilkan uang adalah orang yang bernilai lebih dari yang lainnya.

Lihat saja barang-barang tak bernilai di rumah, mungkin masih bernilai di mata orang lain. Barang bekas masih menjadi idola banyak orang, selain harganya lebih murah, juga bisa menyelamatkan anggaran belanja bulanan yang sudah mencekik. Jadi bila ada barang yang tak terpakai buat apa dibiarkan, karena dimata orang lain bisa-bisa masih bernilai lebih.

Revolusi jual beli ini bukan tanpa dasar, selama ada permintaan pasti jual beli akan terjadi. Meski barang yang dijual ini terlihat tidak bernilai, bila tak ada pilihan orang bisa memberikan nilai lebih. Disini pentingnya informasi akan seputar barang yang akan dijual, termasuk harga dan manfaatnya.

Sekarang ambil ponsel anda, cari harga setiap barang yang ada di rumah, maka dengan mudah akan diperoleh harga baru maupun bekasnya. Inilah sebuah peluang, dan penolong dari tekanan hidup. Jual saja apa yang anda miliki, seandainya tak punya uang dan tak punya pekerjaan. Ini sudah bisa menghasilkan uang, bahkan anda bisa jual barang teman atau tetangga, dengan margin keuntungan sebagai broker yang bisa diambil.

Jadi sebenarnya selalu ada jalan untuk mendapatkan uang, karena apa saja bisa dijual. Jangan halangi diri anda untuk tidak bernilai dan menghasilkan uang. Sudah saatnya kreatif dan membuka jalan untuk maju dan bernilai.

Belajar dari Skandal Emisi Mobil Volkswagen di Amerika

Pabrikan mobil terbesar di dunia, Volkswagen kena batunya. Kali ini ketahuan melakukan penipuan pada test emisi mesin mobil dieselnya di Amerika. Ada semacam alat atau sensor pada mesin mobil VW ini yang bisa mendeteksi alat test emisi, sehingga bisa meningkatkan kinerja mesin untuk mendapatkan hasil emisi yang lebih baik.

Tentunya ini amat sangat merugikan konsumen dan lingkungan akibat kasus ini. Diperkirakan pabrikan Volkswagen ini bakal mengalami tuntutan hukum dari banyak pihak yang merasa dirugikan. Meskipun kasus ini hanya menimpa mobil dieselnya saja, namun diperkirakan bisa mempengaruhi separuh lini produksi mobil VW ini.

Ada kemungkinan mahkota juara sebagai pabrikan terbesar di dunia ini bakal digeser kembali oleh Toyota. Memang ada yang aneh saat penjualan mobil VW bisa menyalip dua raksasa mobil dunia, yaitu Toyota dan Ford. Padahal kedua raksasa ini sedang bagus-bagusnya angka penjualan mobilnya.

Memang cheating atau penipuan di industri mobil ini sudah diduga banyak dilakukan oleh pabrikan mobil. Hanya sering sulit diketahui, biasanya kasus seperti overspek sudah sering terjadi dan merugikan konsumen mobil. Tujuannya memang untuk bisa lebih unggul dari mobil pesaingnya, dengan ongkos produksi seminimal mungkin.

Saham perusahaan mobil VW ini langsung anjlok lebih dari 30 persen saat berita skandal ini mengemuka. Diperkirakan kasusnya tidak hanya terjadi di Amerika saja, tapi akan menyebar ke banyak Negara, termasuk Swiss yang sudah melarang penjualan mobil VW kategori diesel. Di Jerman sendiri diperkirakan ada jutaan mobil diesel yang dipasangi alat tersebut.

Masing-masing negara nampaknya sudah melakukan penyelidikan sendiri dan ada kemungkinan pabrikan Volkswagen akan menjalani perjuangan panjang di pengadilan akibat tuntutan hukum atas alat penipu emisi ini. Mungkin saja perusahaan ini bakal bangkrut bila tak mampu keluar dari semua tuntutan hukum ini.

Berkaca dari kasus skandal emisi mobil VW ini, hendaknya pabrikan kita yang sudah mengekspor mobil keluar negeri, untuk memeriksa kembali segala komponen yang dmiliki agar sesuai dengan spek yang dicantumkan. Penipuan apapun pasti akan ketahuan juga. Overspek sudah umum, tapi jangan sampai merugikan konsumen.

Friday, September 25, 2015

Apakah Investasi di Deposito masih Menguntungkan?

Tentu saja dengan bunga 8-9 persen pertahun, investasi di deposito masih menguntungkan. Coba bandingkan dengan investasi di saham yang anjlok beberapa bulan kemarin. Pastinya investasi di deposito masih bisa diharapkan memberi hasil.

Hanya saja memang untuk deposito dalam bentuk rupiah terjadi penurunan nilai rupiah yang sangat dalam. Sudah sejak 2012 rupiah mengalami pelemahan, ini sebenarnya sudah menjadi lampu kuning bagi investasi di deposito. Karena selain berhadapan dengan inflasi, investasi deposito juga berhadapan dengan penurunan nilai rupiah itu sendiri.

Sama seperti deposito dalam bentuk dollar, disamping menghadapi inflasi, juga ditekan oleh nilai tukar mata uang yang berubah-rubah. Bila tidak menyikapi gejolak mata uang, maka investasi di deposito bisa tidak menguntungkan. Apalagi pada kondisi pelemahan rupiah dan simpanan deposito dalam bentuk rupiah, maka bisa-bisa keuntunganya terkikis habis oleh anjloknya rupiah tersebut.

Justru yang deposito dollar dengan bunga hanya 1,5 persen, malah memberi keuntungan yang lebih besar. Ini karena dollar trus menguat, sehingga nilainya jauh lebih meningkat dari bunga yang diberikan. Hitung saja penguatan dollar terhadap rupiah sudah hampir 17 persen selama setahun, maka nilai simpanan dollar ini sudah untung atau tumbuh lebih dari 18,5 persen.

Tentu ini suatu investasi yang menguntungkan dari investasi fixed income. Biasanya investasi model begini kalah dengan investasi di pasar saham dalam hal pertumbuhannya. Namun sejak perlambatan ekonomi dunia, maka bursa saham terkena imbas penurunan ekspektasi yang sangat tinggi.

Ambruknya investasi di bursa saham membuat pilihan investasi berpendapatan tetap seperti deposito masih menguntungkan. Wajar bila ada istilah jangan taruh telur dalam satu keranjang. Ini ada baiknya menempatkan investasi pada beberapa bentuk investasi, sehingga bisa saling menutupi kerugian yang diperoleh.

Namun biasanya orang sangat serakah, seperti pada kasus ambruknya bursa saham di cina. Banyak rakyat biasa yang tergiur tingginya perolehan investasi saham, membuat mereka menempatkan seluruh uangnya pada pasar saham. Akibatnya saat bursa saham ambruk, maka habislah pula seluruh uang investasinya dan bangkrut seketika.

Tentunya ini harus dijaga dan jangan sampai terjadi, apalagi dengan usia yang tidak produktif lagi. Biasanya memang dianjurkan memilih investasi yang berpendapatan tetap. Dalam hal ini investasi pada deposito masih memiliki harapan dan menguntungkan.

Dampak Impor Beras saat Panen Raya

Sudah bukan sekali ini saja impor beras dilakukan pada saat panen raya terjadi. Alasannya karena stok beras nasional belum mencukupi dan ditakutkan akan terjadi gejolak harga. Padahal bisa saja data stok beras ini tidak diupdate dengan baik, karena akibatnya bisa merugikan petani yang sedang panen raya.

Diberitakan pula kemarau panjang telah membuat banyak gagal panen. Ini juga menjadi alasan dari pemerintah melakukan impor beras. Meskipun bila data diupdate dengan baik, maka stok beras bisa lebih dari cukup setelah panen raya.

Dari beberapa peninjauan, banyak petani yang merasakan keganjilan. Tidak biasanya panen raya sepi peminat, karena dulunya padi baru menguning saja para tengkulak sudah gatal ingin memborong padi tersebut. Namun sekarang sampai mendekati panen, padi para petani ini tak ada yang menawar.

Diperkirakan sepinya peminat ini karena memang stok beras sudah cukup banyak di pasar. Apalagi dengan impor beras yang terus menerus dilakukan pemerintah. Dari data yang ada memang pemerintah impor beras dalam jumlah besar saat mendekati panen raya.

Akibatnya bisa dipastikan akan seperti sama pada panen-panen sebelumnya, harga padi akan turun dan ini sering merugikan petani. Rugi disini karena memang modal untuk mengarap sawahnya tidak tertutup oleh hasil panen. Tentu saja ini membuat pusing para petani dan menurunkan minat untuk bertani.

Diperkirakan jumlah petani murni atau yang mengeluti usaha tani secara penuh ini sudah menurun. Kebanyakan sudah tidak bisa lagi mengandalkan profesi tani ini, mereka banyak yang lari menjadi pekerja atau buruh di luar sektor pertanian. Karena memang sudah tidak mencukupi untuk hidup dari bertani.

Bila kondisi ini dibiarkan terus, maka otomatis akan menurunkan produksi beras itu sendiri. Mana mungkin pula program swasembada beras akan tercapai, bila produksi beras tidak bisa meningkat. Ada yang aneh dengan program pemerintah yang tidak konsisten dalam swasembada beras ini.

Terlihat pemerintah lebih mementingkan kondisi makro dalam menekan inflasi, daripada memikirkan nasib petani maupun program swasembada itu sendiri. Harusnya pula kebijakan impor beras ini tidak dilakukan saat panen raya. Pemerintah hendaknya bisa memiliki data logistik beras yang update hingga tidak merusak harga beras di tingkat petani.

Thursday, September 24, 2015

Apa Dampak Positif dan Negatif dari Pelemahan Rupiah?

Pelemahan rupiah sebenarnya sudah cukup lama terjadi. Bila dilihat dari grafik perjalanan rupiah, maka rupiah sudah melemah secara konstan sejak 2012 yang lalu. Hanya saja baru menjadi sorotan saat terjadi akselerasi dalam pelemahan rupiah. Lalu apa sebenarnya dampak positif dan negatif dari pelemahan rupiah?

Rupiah seperti mata uang lainnya yang menganut floating currency akan mengalami naik turun, layaknya sebuah barang yang diperdagangkan. Dimana permintaan naik, rupiah akan menguat. Begitu pula sebaiknya saat permintaan turun, maka rupiah otomatis melemah.

Ini terjadi saat ini, dimana permintaan rupiah lebih rendah daripada permintaan dollar, maka otomatis rupiah melemah. Namun ada keanehan, kenapa rupiah melemah terus secara konstan sejak 2011. Ada yang bilang kinerja ekspor yang anjlok mendorong pelemahan rupiah, meski banyak yang berasumsi perlambatan ekonomi mendorong pelemahan rupiah.

Semua ini sebenarnya ada mekanismenya, dimana saat rupiah melemah otomatis harga barang impor akan mahal dan permintaan impor akan menurun. Demikian pula saat rupiah menguat, maka kinerja ekspor akan menurun. Ada semacam balancing pada kurs mata uang dari sisi perdagangan.

Namun anehnya ini tidak terjadi pada rupiah, lihat pada gambar sejak 2011 rupiah mengalami pelemahan. Harusnya kinerja ekspor bisa terdorong, tapi yang terjadi malah sebaliknya, kinerja ekspor memble dan impor malah semakin besar. Anomaly ini bisa terjadi karena memang pasar Indonesia sudah dikuasai oleh barang impor terutama dari cina, yang tidak begitu terpengaruh naik-turunnya rupiah.

Ini karena cina memang mengontrol mata uangnya Yuan dengan ketat, akibatnya mekanisme pasar yang harusnya saat rupiah melemah, kinerja ekspor kita bisa naik tapi kenyataan jadi sebaliknya. Disini keuntungan dari pelemahan rupiah yang bisa digunakan untuk mengenjot ekspor, malah tidak bisa dimanfaatkan sama sekali.

Harusnya memang barang-barang impor menjadi mahal dengan pelemahan rupiah dan ini bisa mengerem laju barang impor. Namun keuntungan ini tidak terjadi, karena memang barang impor dari cina ini sudah dimanipulasi harganya. Jadi pelemahan rupiah ini tidak sepenuhnya menguntungkan dari sisi ekspor, karena cina memang sudah melakukan perang dagang.

Justru pelemahan rupiah lebih besar dampak negatifnya bagi ekonomi Indonesia. Dampak negatif dari pelemahan rupiah sudah terasa dengan naiknya resiko investasi. Ini karena investasi akan susut oleh pelemahan rupiah sehingga banyak investor yang keluar dari portofolio investasi dalam bentuk rupiah.

Kondisi ini bisa terlihat di pasar keuangan, terjadi aksi jual di pasar saham dan menurunnya investasi asing. Tentu saja ini menambah beban pada rupiah, sehingga pelemahan rupiah semakin dalam. Pelemahan rupiah memang sedikit sekali memberi dampak positif dan malah lebih banyak dampak negatifnya.

Diperkirakan dampak pelemahan rupiah yang merugikan adalah terjadinya perlambatan ekonomi. Ini membuat pertumbuhan ekonomi bisa berpotensi turun tajam, bahkan mungkin stagnan atau nol pertumbuhannya. Bila dibiarkan pelemahan rupiah terus terjadi, ada kemungkinan pertumbuhan menjadi negatif alias ekonomi mengalami resesi.

Rupiah Anjlok, Pasar Mobkas Makin Bergairah

Diperkirakan pasar mobil baru mengalami tekanan yang cukup kuat akibat pelemahan rupiah. Dari data yang masuk, nampaknya angka penjualan akan terkoreksi dan lebih rendah dari capaian tahun lalu. Hal ini wajar mengingat pabrikan sudah mulai melakukan perubahan harga mobil akibat naiknya harga komponen mobil yang masih impor.

Memang untuk keseluruhan komponen mobil baru, masih mengandalkan suku cadang impor yang masih tinggi prosentasenya. Hanya beberapa mobil LCGC yang sudah memiliki suku cadang lokal yang lebih besar. Namun inipun tetap tidak bisa terhindar dari akibat pelemahan rupiah.

Banyak pabrikan yang sudah memberi sinyal telah menaikan harga mobil baru dan mengoreksi target penjualannya. Namun kondisi ini berlawanan dengan mobil bekas atau mobkas yang pasarnya mulai bersinar saat harga mobil baru mulai naik. Selalu pertimbangan harga akan menjadi hal utama, apalagi bila selisih harganya sudah terlalu besar.

Diperkirakan pelemahan rupiah bisa menguntungkan pasar mobkas, meski pasarnya juga terimbas akibat turunnya daya beli masyarakat. Disini terlihat dari angka penjualan mobkas rata-rata perbulan di beberapa diler yang stagnan dan tak kunjung meningkat. Tidak heran banyak diler yang mulai menekan harga beli dari konsumen menjadi lebih rendah lagi.

Ini wajar terjadi, dimana permintaan turun maka stok mobkas yang masih banyak akan bisa digunakan menekan konsumen. Sudah biasa diler akan dengan manis menekan konsumen untuk mendapatkan harga mobil yang ekonomis. Mau tak mau mereka yang jual mobil akan dengan terpaksa melepas dengan harga yang ditawarkan oleh diler.

Apalagi dengan persaingan mobil sejenis dan banyaknya muncul mobil baru, maka akan selalu ada alasan bagi diler untuk menekan harga. Namun saat menjualnya bisa dengan berbagai cara untuk menaikan harganya. Salah satu saat rupiah melemah, pihak diler ini bisa untung banyak.

Mereka punya trik dalam mengolah pasar mobkas yang bergejolak akibat pelemahan rupiah. Margin harga yang dimiliki diler menjadi lebih lebar dengan harga mobil baru yang semakin naik. Disini mereka istilahnya bisa menimbun mobil unggulan atau yang menjadi favorit pengguna mobil.

Biasanya kelas low MPV, pasar mobkasnya sangat dinamis. Ini mengingat permintaannya tetap tinggi, disamping harga mobil barunya yang selisihnya semakin melebar. Disini keuntungan diler mobkas memang sangat besar, peluangnya yang semakin besar dalam mengolah harga mobkas.

Wednesday, September 23, 2015

Hitam Putih Perjalanan Rupiah

Pada beberapa bulan terakhir rupiah menjadi sorotan. Bukan karena prestasi, tapi karena pelemahan yang begitu dalam dan tak terbendung. Pemerintah memang direpotkan oleh gejolak rupiah ini dan kewalahan dalam menahan laju pelemahannya, bahkan pada beberapa minggu terakhir sudah begitu mengkawatirkan karena menunjukkan akselerasi pelemahan dengan lompatan yang begitu besar.

Wajar bila investor semakin kawatir dan publik juga merasakan ada yang tidak beres dengan ekonomi rupiah. Namun ini lebih sering disikapi pemerintah dengan santai, responnya sering terlihat meremehkan kondisi yang ada. Pemerintah dalam hal ini tim ekonomi, merasa fundamental ekonomi masih kuat dan semua akibat dari faktor eksternal.

Mungkin pendapat pemerintah ada benarnya, karena rupiah pernah mengalami level terburuk, dengan indikator ekonomi yang masih lebih baik dari kondisi sebelumnya. Namun bila melihat ke dampak yang ada, nampaknya respon pemerintah ini bisa dianggap kurang responsif. Dampak dari pelemahan rupiah ini sudah mulai terasa di berbagai sisi kehidupan ekonomi. Situasinya sudah boleh dibilang semakin memburuk.

Bila melonggok ke tahun 1998, dimana rupiah jatuh dalam waktu singkat dan bisa bangkit dengan segera. Ini karena faktor politik yang memicu, begitu konsolidasi terjadi, rupiah bisa kembali menguat. Demikian pula dengan tahun 2008 saat terjadi krismon, periode pelemahan dan penguatan bisa dilakukan dengan cepat.

Waktu itu ekonomi memang sedang bergejolak dan semuanya dimulai dari luar atau faktor eksternal. Namun dengan sigapnya Sang arsitek ekonomi Sri Mulyani bisa membawa ekonomi bangkit dan rupiah bisa menguat dengan segera, bahkan bisa menembus level terbaik rupiah semenjak krismon. Ini karena kinerja ekspor yang luar biasa hingga bisa tembus level psikologis ekspor lebih dari 200 milyar dollar, level tertinggi dalam sejarah Indonesia.

Namun setelah kepergian Sri Mulyani ke Bank Dunia, reformasi ekonomi yang sudah dijalankan mengalami setback. Kinerja ekspor mengalami penurunan secara pasti dan ini diikuti dengan pelemahan rupiah pula. Bila dilihat di grafik perjalanan rupiah, tampak terlihat pola yang pasti, rupiah melemah secara konstan dan mengalami akselerasi pada beberapa bulan yang lalu.

Puncaknya tentu saja saat rupiah mengalami akselerasi pelemahan hingga membuat banyak kalangan semakin kawatir. Apapun kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah tak memberikan efek sama sekali. Rupiah justru semakin liar, bisa jadi kebijakan yang ada malah menjadi katalis bagi akselerasi pelemahan rupiah.

Banyak kalangan melihat kebijakan pemerintah sudah salah arah, hingga menimbulkan dampak ekonomi yang lebih buruk. Pelemahan rupiah memang sudah meningkatkan resiko berinvestasi, ini membuat iklim investasi menjadi beresiko. Wajar bila terjadi pelarian modal asing di pasar keuangan. IHSG terlihat terjadi aksi jual oleh investor asing terus menerus.

Bila kondisi ini tidak diatasi dengan segera, maka ada kemungkinan ekonomi bisa semakin terpuruk. Bukan tidak mungkin ekonomi akan menjadi krisis, soalnya tak ada yang tahu pasti sampai dimana batas pelemahan rupiah ini. Perbankan yang menjadi motor ekonomi katanya masih kuat bila rupiah sampai 18 ribu terhadap dollar.

Namun ini menandakan pasar atau faktor eksternal dibiarkan begitu saja mendikte perekonomian kita. Kita harusnya jangan mau diperlakukan seperti itu oleh pasar. Pemerintah harusny bisa berkaca pada pengalaman Sri Mulyani mengangkat rupiah ke level terbaiknya dengan mengenjot kinerja ekspor.

Ini harusnya bisa dilakukan oleh pemerintah, dengan menggunakan anggaran yang berlimpah untuk mengenjot kinerja ekspor. Banyak kalangan menilai proyek infrastruktur yang dijalankan tak lebih dari proyek mercusuar, ini mengingat kondisi rupiah yang tertekan dan harusnya menjadi prioritas dalam menahan pelemahan rupiah. Perbaiki dulu kondisi keuangan rupiah sebelum membangun infrastruktur.

Koreksi Pertumbuhan Ekonomi, Mengirim Sinyal Buruk di Bursa

Langkah pemerintah dan DPR yang sepakat mengoreksi angka pertumbuhan ekonomi berdampak serius di bursa. Apalagi ini diikuti oleh lembaga keuangan dunia yang juga ikut mengoreksi angka pertumbuhan. Ini membuat prospek ekonomi ke depan bertambah suram.

Pasar keuangan juga semakin pesimis, dengan posisi rupiah yang melonjak turun dalam beberapa hari terakhir. Kondisi ini juga berimbas ke bursa, asing yang sudah melakukan aksi jual juga terus berlanjut. Dengan transaksi di bursa yang semakin mengecil.

Nampaknya segala kebijakan ekonomi yang diberikan tak mempan dalam mengendalikan ekonomi rupiah. Pasar selalu pesimis menyikapi setiap kebijakan yang dikeluarkan. Seakan semakin jauh dari harapan pasar, banyak kalangan usaha juga melihat arah ekonomi yang sudah bergerak jauh dari kondisi yang terjadi.

Disaat rupiah tertekan dan melemah, pemerintah masih antusias membangun proyek mercusuar dengan dalih infrastruktur. Bahkan tak punya uang atau anggaran bukan menjadi halangan, obligasi ritel diterbitkan untuk menutupinya. Kondisi inilah yang membuat pasar dan pelaku bisnis semakin pesimis.

Apa yang dilakukan pemerintah benar-benar mengikuti pola pemerintah Zimbabwe sebelum mata uangnya kolaps. Pengeluaran diluar kendali sedang pemasukan seret. Apapun dalihnya untuk membangun infrastruktur, pada akhirnya semain memberatkan kondisi fiskal dan memberi tekanan pada rupiah.

Kondisi ini sudah menjadi alarm, namun nampaknya pemerintah tak berubah pikiran. Bursa saham sudah menunjukan mosi tidak percayanya, asing terus-terusan keluar dari bursa. Diperkirakan ini akan menekan mata uang rupiah ke level yang tidak pernah disentuhnya, bahkan bisa menembus level terburuk dalam sejarah negeri ini.

Kondisi pelemahan rupiah yang sudah terakselerasi ini, harusnya menjadi alarm untuk mengkaji kembali kebijakan ekonomi yang telah dijalankan. Anggaran sudah seharusnya digunakan sebaik-baiknya untuk memperkuat rupiah terlebih dahulu. Anggaran bisa digunakan untuk memperkuat kinerja ekspor.

Ini harus dilakukan all out oleh pemerintah dalam menahan pelemahan rupiah lebih dalam dan kaburnya investor asing di pasar keuangan. Situasinya sudah kritis, bila tak mau disebut krisis, sebaiknya segera mengambil langka fundamental. Langkah besar mereformasi perekonomian agar kepercayaan investor akan ekonomi kita bisa pulih.

Tuesday, September 22, 2015

Grafik Penguatan Dollar terhadap Emas dan Rupiah

Sepanjang satu tahun ini saja penguatan dollar sudah sangat tinggi. Hampir indeks semua komoditas maupun mata uang keok melawan dollar. Tak terkecuali komoditas emas yang sebenarnya safe heaven, masih kalah juga lawan dollar. Apalagi mata uang rupiah yang keok habis-habisan lawan dollar.

Diperkirakan keperkasaan dollar ini akan sulit diprediksi titik puncaknya. Ini mengingat ekonomi amerika sedang membaik dan indikator yang ditarget selalu terpenuhi. Tentunya tak ada yang bisa menghadang penguatan dollar lagi, apalagi bila suku bunga naik, dipastikan akan semakin perkasa.

Sebenarnya keperkasaan dollar ini bisa ditekan bila the fed mau memberi suku bunga negatif terhadap dollar. Wacana ini menguat ditengah gejolak ekonomi akibat penguatan dollar. Suku bunga negatif berarti apapun simpanan dollar akan terkena denda atau penalty.

Namun wacana inipun juga disanggah oleh banyak pihak yang melihat tak akan ada formula yang bisa menghadang penguatan dollar. Justru dengan interest rate negatif, dollar akan makin tambah “gila”. Nilainya bisa-bisa jadi kayak “barang antik” bukan lagi sebagai mata uang.

Penguatan dollar ini tak lebih dari reaksi keseimbangan pasar, saat dollar yang ada ditarik oleh yang buat. Diduga akan tercapai titik keseimbangan dimana dollar sesuai dengan jumlah di pasar keuangan dunia. Ini yang sulit untuk diprediksi dan akan menimbulkan bola panas yang liar kemana-mana.

Lihat saja di grafik penguatan dollar terhadap dollar dan rupiah. Tampak dollar sudah menguat lebih dari 10 persen terhadap emas. Demikian pula dengan rupiah, malah lebih parah lagi. Rupiah di-KO oleh dollar lebih dari 17 persen dalam setahun ini.

Diperkirakan penguatan dollar ini akan berlanjut, namun bukan berarti tidak bisa ditahan penguatannya. Bila kinerja perkonomian Indonesia membaik, pastinya bisa menghadang laju penguatan dollar. Bila pemerintah bisa mengenjot kinerja ekspor ke titik puncak seperti pada tahun 2011, maka dipastikan dollar bisa ditahan penguatannya.

Disini yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menggunakan anggaran belanja sebaik-baiknya. Jangan menghambur-hamburkan untuk proyek mercusuar infrastruktur, tapi lebih baik gunakan anggaran untuk mengenjot ekspor. Iniyang akan menghasilkan dollar “produktif” dan bisa menguatkan rupiah secara permanent.

Menghitung Keuntungan Investasi di Obligasi Ritel

Pemerintah kembali merilis Obligasi Ritel atau ORI untuk membiayai anggaran belanja Negara. Kebutuhan dana yang diperlukan sekitar 20 trilyun rupiah. Diperkiraan Obligasi ini akan bisa terpenuhi mengingat tenornya 3 tahun dan bunganya 9 persen.

Bunga ORI ini jauh di atas bunga deposito saat ini yang maksimal di kisaran 8 persen. Tentunya akan banyak yang mengalihkan investasinya dari deposito ke ORI ini, karena memberi keuntungan lebih besar. Saingan dari ORI ini hanya bunga simpanan di BPR yang berani mematok angka 10 persen.

Tentunya menaruh uang di BPR akan lebih besar resikonya daripada mengisvestasikan pada ORI. BPR bisa dengan mudah tutup oleh pelemahan rupiah. Namun untuk ORI, mana mungkin Negara akan tutup atau kolaps. Meski jauh dari itu, diperkirakan sedikit sekali investor asing yang akan masuk membeli ORI ini.

Persoalannya tentu pada posisi rupiah yang terus melemah. Dengan rupiah yang melemah lebih dari 15 persen dalam setahun terhadap dollar, maka masih kalah dengan investasi di deposito dollar yang hanya memberi bunga 1,5 persen. Lho kok bisa?

Ini karena faktor pelemahan rupiah yang membuat investasi di ORI ini beresiko tinggi. Bagi investor domestik tentu tak masalah, tapi tidak bagi investor asing. Mari kita hitung angka kemungkinan keuntungan dan kerugin dari investasi di ORI ini.

Dengan asumsi rupiah yang akan terus melemah 15 persen pertahunnya, maka diperkirakan akan terjadi penyusutan nila rupiah sebesar 45 persen dalam setahun atau rupiah diperkirakan bisa tembus 20 ribuan, bila pemerintah tidak memiliki langkah mujarap untuk menghentikan pelemahan rupiah. Dengan asumsi ini saja, nilai investasi ORI dengan bunga 9 persen akan terkikis oleh pelemahan rupiah.

Namun bila pemerintah dengan gagah berani bisa menguatkan rupiah 15 persen ke posisi sebelumnya, maka investasi di ORI ini akan menguntungkan. Ini tentunya amat sangat berat, dengan pertimbangan inflasi yang masih di kisaran 4-5 persen pertahunnya, maka penguatan rupiah bisa sangat berat sekali atau kecil kemungkinannya.

Hitung-hitungan tentang keuntungan dan kerugian investasi di ORI ini memang tidak pasti, hanya memberi kemungkinan terburuk dan terbaik. Mungkin masih lebih baik bila tidak ada alternatif investasi yang menguntungkan. Soalnya ekonomi juga sedang lesu, lebih baik investasi di sesuatu yang pasti dan penghasilan tetap.

Monday, September 21, 2015

Bukan Krisis tapi Kritis

Polemik tentang kondisi ekonomi rupiah yang dilihat investor sebagai krisis dan disanggah oleh pemerintah, adalah lebih bersifat politis. Pemerintah nampaknya tak mau kondisi ekonomi didramatisir. Namun bagi investor maupun publik, kondisi ekonomi sudah terang benderang suram dan lesu.

Investor dan publik hanya ingin perekonomian menjadi lebih baik, dengan harapan pemerintah bisa keluar dari kondisi lesu yang tak boleh disebut krisis ini. Setahun sudah cukup lama untuk ukuran sebuah pembangunan, karena kategori jangka pendek sudah terlampaui. Dengan tenggang menuju kategori jangka menengah. Bila jangka pendek saja tak mampu keluar dari kondisi suram dan lesu, maka akan berpengaruh pada pembangunan berikutnya.

Kondisi rupiah yang menjadi sorotan investor maupun publik memang tidak menggembirakan. Sudah mengalami pelemahan terus menerus dan setiap kebijakan ekonomi yang dikeluarkan tak mampu menahan laju pelemahan rupiah. Bahkan dalam beberapa bulan ini mengalami akselerasi pelemahan yang lebih dalam.

Dari gambar di bawah ini sudah terlihat interval pelemahan rupiah sudah bukan puluhan, tapi ratusan rupiah. Ini menandakan ada semacam akselerasi dan ini tak mampu ditahan oleh pemerintah. Nampaknya pemerintah sudah mencoba segala cara, hingga panik dan sensitif terhadap isu yang berkembang.

Sebenarnya persoalan ekonomi bukan monopoli pemerintah. Bila ingin sukses, pemerintah harus mengikutkan seluruh komponen bangsa dan tidak sensitif atas usulan, saran maupun kritik yang berkembang. Masukan yang positif akan memperkaya data untuk implementasi atau eksekusi kebijakan ekonomi menjadi lebih baik.

Selama ini investor maupun publik sudah cukup sabar melihat posisi rupiah yang sudah turun cukup tajam. Dengan imbas dan dampak yang mulai terasa di sektor riil maupun kehidupan masyarakat. Investor sudah mengalami kerugian cukup banyak, sedang masyarakat mengalami penurunan perekonomiannya.

Kesabaran akan ada batasnya, saat kebutuhan hidup tidak terbeli, maka akan sulit untuk terus membayar kewajiban yang ada. Tentunya bisa timbul gejolak sosial dan efek domino yang sulit diperkirakan dampaknya bagi Negara. Persoalan ekonomi yang terus-terusan tak teratasi, akan menekan kehidupan masyarakat dan menimbulkan gejolak sosial yang lebih buruk.

Disini perlu bagi pemerintah melihat lagi data ekonomi dan menganalisa dengan komprehensif. Ada persoalan mendasar yang harus diprioritaskan, dan ini tidak tersentuh di kebijakan yang dikeluarkan. 

Dollar “Toksit” bikin Rupiah tak akan pernah Menguat

Keberadaan dollar “toksit” ini semakin popular dan menjadi andalan pemerintah dalam menahan pelemahan rupiah. Padahal dollar “toksit” ini bisa menjadi bom waktu di kemudian hari. Ini terbukti dengan pelemahan rupiah yang sudah terjadi sejak lama. Lalu kenapa pemerintah masih bergantung pada dollar “toksit” ini?

Dollar toksit ini bisa dikaitkan dollar yang masuk lewat utang, investasi, apapun jenis dolar yang masuk tidak lewat perdagangan dikenal dengan dollar toksit. Sedang dollar yang bagus adalah dollar produktif, yang dihasilkan dari proses perdagangan ekspor dari produk-produk SDA, produksi maupun jasa. Dollar produktif ini dikenal menguatkan posisi rupiah secara permanent, lain dengan dollar toksit yang bersifat sementara dan memiliki kemungkinan besar merusak ketahanan rupiah.

Kita pernah mengalami aliran dollar produktif yang cukup besar, saat ekspor mencapai puncaknya pada tahun 2011. Selebihnya dollar produktif ini menurun tajam, seiring penurunan kinerja ekspor. Justru dollar toksit yang semakin banyak masuk, mulai dari naiknya utang pemerintah maupun swasta, investasi asing di bursa maupun sektor riil. Kenapa investasi asing masuk kategori dollar toksit?

Ini karena investasi asing ini pada akhirnya akan kembali ke negaranya, kecuali mereka bertahan dan menjadi WNI, suatu yang tidak mungkin. Justru WNI yang rata-rata eksodus keluar, seperti investor domestik yang membeli property di luar dan lebih betah disana. Memang penyebabnya komplek dan ini lebih politis ketimbang faktor ekonomi.

Selama ini pemerintah masih mengacu pada dollar toksit dalam kebijakan ekonominya. Demikian pula dengan rencana proyek infrastruktur yang sebagian besar memang untuk menarik investor asing. Langkah inilah yang bisa disebut kebijakan ekonomi salah arah, karena mengundang investor asing sama dengan memelihara dollar toksit.

Kita tidak tahu kenapa pemerintah lebih menyukai dollar toksit ketimbang dollar produktif. Selama ini pemerintah lebih fokus pada system ekonomi konsumtif daripada ekonomi produktif yang berorientasi pada ekspor. Ini bisa dilhat pada gambar dibawah yang dengan jelas membuktikan bahwa kebijakan pemerintah memang lebih memilih dollar toksit ketimbang dollar produktif.

Bila kebijakan dollar toksit ini terus dilanjutkan, maka rupiah dipastikan akan terus melemah. Sungguh ironi dengan keinginan pemerintah dalam menahan pelemahan rupiah, tapi kebijakan yang dilakukan justru memberi tekanan pada rupiah. Suatu kebijakan yang salah arah atau memang sudah tak mampu mengelola perekonomian?

Sunday, September 20, 2015

Perlukah Harga BBM Turun untuk Menaikan Daya Beli Masyarakat?

Polemik harga BBM kembali menyeruak ditengah kelesuan ekonomi dan turunnya daya beli masyarakat. Semenjak subsidi BBM dihapus, praktis harga-harga pada naik dan masyarakat kian tak mampu membelinya. Disini banyak kalangan yang tak sabar menunggu langkah pemerintah dalam menyelamatkan ekonomi akibat penghapusan subsidi BBM.

Salah satunya dengan usulan menurunkan harga BBM untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Tentunya ini malah menjadi lingkaran setan, baru setahun subsidi dihapus eh mau diberi subsidi lagi. Suatu hal yang mungkin inefisiensi atau tindakan yang blunder.

Banyak kalangan memang masih belum bisa “move on” dari subsidi BBM yang sudah berurat akar dan menghidupi ekonomi nasional. Praktis saat subsidi BBM dihapus kehidupan masyarakat goyah dan tidak bisa bengkit lagi. Disini nampaknya persoalan timbul, dimana dana dari penghapusan subisi BBM ini ternyata tak mampu mengatasi ekses atau dampak dari penghapusan subsidi BBM.

Pemerintah juga tak mampu membuat kebijakan yang bisa menggairahkan ekonomi. Pemerintah nampaknya hanya pandai di teori, tapi pada realitasnya tak bisa mengatasi dampak lesunya ekonomi akibat penghapusan subsidi BBM. Bahkan polemik masih berlanjut dengan harga BBM yang belum begitu diterima masyarakat.

Memang banyak yang masih bergantung pada harga BBM ini, menandakan BBM masih menjadi sumber energi utama. Ini sebenarnya yang menjadi pangkal persoalan energi yang tak kunjug bisa diatasi. Sebenarnya kunci persoalan energi akan bisa diatasi bila diversifikasi energi bisa dilakukan.

Namun pemerintah dan masyarakat nampaknya sudah terjebak dengan persoalan harga BBM, suatu persoalan ruwet bagai benang kusut. Padahal dengan kondisi harga minyak dunia yang anjlok ini saja masih memberikan persoalan. Belum nanti bila harga minyak dunia naik, bisa dipastikan ekonomi akan kolaps.

Tentunya ini jangan sampai terjadi, maka dari itu pemerintah harus fokus dengan kebijakan yang sudah diambil. Menghapus BBM berarti memulai perang dengan inflasi akibat harga barang yang naik, maka disitulah kebijakan utama pemerintah dalam mengatasi inflasi. Pemerintah harus bisa menggerakan perekonomian dari dana subsidi BBM yang dihapusnya tadi.

Penggunaan dana subsidi untuk proyek infrastruktur sebenarnya baik, tapi tidak mengatasi inflasi dengan segera. Harusnya dana penghapusan subsidi BBM ini diutamakan untuk mengerakan ekonomi dulu, memperluas lapangan kerja yang bisa meningkatkan daya beli. Suatu yang blunder bila mengesampingkan dampak penghapusan subsidi BBM, yang ujung-ujungnya pemerintah kembali berkutat dengan persoalan yang dibuatnya sendiri.

Sekarang ini bermunculan paket kebijakan ekonomi yang sebenarnya merupakan langkah untuk mengatasi dampak penghapusan subsidi BBM. Jadi pemerintah sudah membuat persoalan dalam penghapusan subsidi BBM dan sekarang pemerintah sibuk mengatasi akibatnya. Suatu blunder karena terjebak dalam persoalan yang dibuatnya sendiri.

Merespon Suku Bunga Amerika, Asing mulai Masuk Kembali

Hampir beberapa minggu setelah “black Monday”, investor asing cenderung melakukan aksi jual. Namun sejak the fed menetapkan suku bunganya tak berubah, maka investor asing mulai meramaikan lagi bursa saham Indonesia. Meski posisinya masih net sell, tapi nilai transaksi asing ini sudah menyamai investor domestik.

Sebelumnya bursa didominasi oleh investor domestik dan emiten yang melakukan aksi buyback. Nampaknya sudah ada sedikit perubahan di bursa saham. Boleh dibilang keputusan the fed menahan kenaikan suku bunga amerika ini berdampak positif di pasar saham.

Namun diperkirakan tekanan jual atau profit taking masih cukup besar, hal ini karena investor asing masih belum yakin akan respon pemerintah terhadap keputusan the fed. Sebenarnya yang “punya gawe” adalah pemerintah dalam menjaga ekonomi rupiah, tapi selama ini selalu menjadi bulan-bulanan faktor eksternal. Hampir setiap kebijakan ekonomi yang dirilis pemerintah tak bisa menahan hantaman dari luar.

Boleh dibilang hampir sejak awal tahun ekonomi sangat lesu sekali, baik di bursa maupun di sektor riil mengalami masa yang suram. Investor dan publik seakan pesimis dengan langkah pemerintah yang tak kunjung bisa merubah keadaan. Bisa dipastikan ekonomi tidak akan pulih dengan segera, bila pemerintah masih berkutat dengan kondisi yang dihadapinya.

Kebanyakan persoalan ekonomi terjadi akibat kebijakan yang tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi. Justru pada beberapa kasus, pemerintah membuat sendiri persoalan dan kebingungan mengatasinya. Ini tercermin dari kebijakan menghapus subsidi BBM dan dampaknya yang tidak bisa diatasi oleh pemerintah.

Banyak indikator ekonomi yang negatif akibat dari kebijakan yang kurang matang perencanaan maupun eksekusinya. Beberapa kalangan melihat sebagai incompetence di tim ekonomi, meskipun di mata investor sebenarnya ada pada kebijakan itu sendiri. Buktinya terlihat dari pemulihan ekonomi yang sangat lambat, bahkan bisa dilihat sebagai stagnan di ekonomi rupiah.

Di bursa sendiri juga terpengaruh oleh kondisi riil, dan pelemahan rupiah yang amat dalam. Pertumbuhan yang selama ini dipupuk, sudah hangus oleh kebijakan ekonomi yang dijalankan dalam setahun ini. Ekonomi tidak tumbuh malah hangus oleh arah kebijakan yang dilihat investor salah arah.

Beberapa pengamat percaya bahwa pemerintah berpijak pada analisa data yang dangkal. Persoalan yang terjadi dilihat berbeda oleh pemerintah sehingga kebijakan yang diambil tak mampu mengatasi gejolak faktor eksternal. Meskipun pemerintah sudah menyakinkan publik akan kondisi ekonomi yang ada, nampaknya hanya sekedar membangun optimisme tanpa aplikasi yang jelas.